Pada Abad ke 19 Pemerintah Belanda berusaha dengan segala upaya dan usaha menyebarkan pengaruh politiknya dan meletakkan dasar-dasar pemerintahan kolonial di Pulau Bali sehingga menimbulkan suatu struktur politik dan pemerintahan yang berbedadibandingkan pada keadaan pada masa Raja-Raja Bali berkuasa mutlak pada abad ke 19.
Perang Puputan Badung
Dalam Lukisan
Pada akhir abad ke 19 satu persatu kerajaan-kerajaan di Bali dan Lombok yang dulunya berkuasa penuh jatuh ketangan Pemerintah Hindia-Belanda :
Kerajaan Jembrana pada awal abad ke 20 dengan Raja Jembrana yang terakhir telah diasingkan oleh Pemerintahan Belanda ke Banyuwangi :
- Kerajaan Buleleng dengan Rajanya Gusti Ngurah Ketut Jelantik diasingkan ke Padang tahun 1872
- Kerajaan Selaparang Lombok jatuh ketangan Pemerintah Hindia-Belanda tahun 1894
- kerajaan Karangasem yang dulunya merupakan bagian darui Kerajaan Selaparang menjadi suatu daerah yang langsung dibawah kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda
- Kerajaan Gianyar telah menyerahkan diri kepada Pemerintah Hindia-Belanda dan dengan surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 29 Nopember 1900, Dewa Gde Raka diangkat sebagai “stedehouder” Pemerintah Hindia-Belanda di Gianyar
Pada tanggal 1 Juli 1882 dibentuk Kerisidenan Bali dan Lombok dengan mengangkat seorang residen di Singaraja. Dengan jatuhnya Kerajaaan-Kerajaan tersebut ketangan Pemerintah Hindia-Belanda maka hanya tinggal 4 Kerajaan yang masih memegang kedaulatan penuh atas wilayahnya yaitu kerajaan Klungkung, Bangli, Badung dan Tabanan sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian yang ditandatangani oleh wakil pemerintah Hindia-Belanda Letkol J.Van Swieten dengan para Raja-Raja tersebut tanggal 13 Juli 1849 di Kuta Badung.
Ketentuan-ketentuan tersebut menjamin bahwa raja-raja tersebut mempunyai kedaulatan sepenuhnya untuk menjalankan pemerintahannya di daerah kekuasaannya masing-masing berdasarkan peraturan dan adat yang berlaku, sedangkan Pihak Belanda tidak diperkenankan campur tangan dalam pemerintahan dalam bentuk apapun.
Monumen Puputan Badung
Dengan demikian berarti bahwa semua peraturan perundang-undangan Pemerintah Hindia-Belanda tidak berlalu di 4 wilayah Kerajaan tersebut, namun demikian raja-raja tersebut mengakui kedaulatan Pemerintah Hindia-Belanda dan bahwa wilayahnya adalah bagian dari Hindia-Belanda.
Pada awal abad ke 20 terjadilah perubahan peta politik di Bali bagian selatan dimana para raja-raja yang memegang peranan yang penting pada percaturan politik di Bali diganti oleh generasi yang lebih muda karena usia yang telah lanjut/ meninggal.
Raja Klungkung Dewa Agung Putera wafat pada tahun 1903 dan diganti oleh Putra Mahkota Dewa Agung Gde pada tanggal 23 September 1904. Adipati Agung kerajaan Klungkung Dewa Agung Rai wafat tanggal 1 September 1904 sehingga kerajaan Klungkung kehilangan pembesar kerajaan yang sangat dihormati, cakap dan mempunyai ambisi untuk menyebarkan kekuasaan Dewa Agung sebagai Susuhunan Bali dan Lombok di seluruh pelosok Pulau Bali.
Di Kerajaan Badung yang sebenarnya diperintah secara kolektif oleh 3 raja yaitu Raja Denpasar, Raja Pemecutan dan Raja Kesiman mengalami perubahan kepemimpinan. Raja Kesiman Gusti Gde Ngurah Kesiman yang memegang peranan sangat penting dalam hubungan raja-raja di Bali dengan Belanda wafat pada tahun 1861 dan diganti oleh putranya yang bergelar Gusti Ngurah Gde Kesiman, namun raja ini juga wafat pada tanggal 14 Agustus 1904 kemudian diganti oleh putranya namun tidak memiliki kepribadian dan kewibawaan yang kuat seperti pendahulunya.
Di Kerajaan Pemecutan diperintah oleh Raja pemecutan yang sudah berusia lanjut dan mengalami gangguan kesehatan sehingga tidak sanggup lagi secara aktip memainkan peranan pemerintahan sehari hari kerajaan Badung, dengan demikian maka pimpinan politik Kerajaan Badung beralih ketangan Raja Denpasar. Raja Tabanan Gusti Ngurah Agung telah lanjut usia dan meninggal pada tanggal 6 Maret 1903 dan Raja Tabanan yang baru terus diintervensi oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengikuti permainan politiknya.
Van Heutz - Gubernur Jenderal Belanda
Sementara di kalangan Belanda berpendapat bahwa keadaan politik dan tata pemerintahan yang berlaku di Bali bagian selatan merupakan suatu keganjilan yang luar biasa karena di daerah kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda tersebut masih terdapat wilayah –wilayah yang diijinkan mengenyampingkan semua peranturan perundang- undangan yang dikeluarkan oleh“Pax Neerlandica”. Hal tersebut jelas bertentangan dengan asas“Pax Neerlandica” yang menginginkan bahwa semua daerah Pemerintah Hindia-Belanda mengakui secara mutlak kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda beserta peraturan perundang-undangannya.
Pada tahun 1904 Pemerintah Hindia-Belanda mengangkat J.B Van Heutz sebagai Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang baru. J.B Van Heutz berjasa besar dalam menyelesaikan perang Aceh dan J.B Van Heutz terkenal sebagai perwira tinggi yang mempunyai cita-cita dan tujuan utama agar asas “Pax Neerlandica” berlaku mutlak di seluruh wilayah kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda.
Pandangan J.B Van Heutz jelas bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian yang ditandatangani oleh wakil pemerintah Hindia-Belanda Letkol J.Van Swieten dengan para Raja-Raja tersebut tanggal 13 Juli 1849 di Kuta Badung yang menjamin bahwa 4 Kerajaan di wilayah di Bali bagian selatan mempunyai kedaulatan sepenuhnya untuk menjalankan pemerintahannya di daerah kekuasaannya masing-masing.
Kapal Perang Belanda mendarat di Pantai Sanur
Semenjak Gubernur Jenderal J.B Van Heutz berkuasa, dia selalu mencari segala daya dan upaya untuk menghentikan kekuasaan Kerajaan-Kerajaan tersebut yang dianggap ganjil.
Namun akan sangat mencolok apabila Gubernur Jenderal membatalkan begitu saja perjanjian-perjanjian yang telah ditandatangani oleh pendahulunya dengan Raja-Raja Bali tersebut dan oleh karena itu harus ditungu terlebih dahulu terjadinya suatu peristiwa politik yang akan memberikan kesempatan kepada Pemerintah Hindia-Belanda untuk mewujudkan keinginannya tersebut.
Kesempatan tersebut akhirnya datang, pada tanggal 27 Mei 1904sebuah perahu bermuatan minyak tanah, gila pasir dan terasi yang bernama “Sri Kumala” milik seorang cina yang bernama Kwee Ten Tjiang yang berangkat dari Banjarmasin karam di pantai Sanur sebelah selatan wilayah kerajaan Badung. Karena keadaan gelombang yang sangat besar maka evakuasi terhadap kapal tersebut susah dilaksanakan.
Jendral Rost Van Toningen - memeriksa pasukan
Baru pada keesokan harinya setelah air panta sudah mulai surut maka dilakukan penyelamatan muatan kapal tersebut oleh pemiliknya dan nahkoda kapal tersebut.
Pemilik dan Nahkoda kemudian melaporkan peristiwa tersebut kepada syahbandar pantai Sanur yang seorang keturunan Cina dan petugas ini melanjutkan kepada Punggawa Sanur. Setelah menerima laporan tersebut Punggawa Sanur kemudian memerintahkan kepada penduduk sekitar untuk menjaga bangkai kapal tersebut dan oleh karena kondisi kapal yang sangat parah maka Punggawa sanur memerintahkan untuk membongkar bangkai kapal tersebut dan mengumpulkan semua rongsokan kapal tersebut di salah satu desa dekat sanur yang bernama desa Beaung.
Dan beberapa minggu setalah kapal tersebut karam pemiliknya menghadap Residen Bali dan Lombok J Eschbach di Singaraja untuk melaporkan bahwa barang muatan dan uang kepeng serta perak yang bernilai 3000 ringgit telah dirampas oleh penduduk sekitar Sanur. Hal tersebut jelas menimbulkan suatu perkara yang sangat pelik mengingat Raja Badung telah menandatangani suatu perjanjian dengan Pemerintah Hindia-Belanda tanggal 13 Juli 1849 yang isinya Raja Badung berjanji untuk selama-lamanya melepaskan hak atas hukum tawan-karang dan memberi pertolongan kepada semua kapal dan perahu yang karam diperairan kerajaan tersebut.
Atas laporan pemilik kapal tersebut, Residen Bali dan Lombok J Eschbach mengirim seorang kontrolir yang bernama H.J.E.F Schwartz pada tanggal 16 Juni 1904 untuk menemui Punggawa Sanur agar diperoleh keterangan dari peristiwa tersebut. Terdapat sesuatu yang aneh dari laporan pemilik kapal tersebut yang melaporkan telah hilang uang kepeng senilai 3000 ringgit dirampas oleh penduduk sekitarnya, sedangkan pemilik kapal berhasil menyelamatkan muatan kapal berupa minyak tanah dan terasi. Jika benar ada uang di kapal tersebut tentunya secara logis peti yang berisi uang tersebut diselamatkan terlebih dahulu baru kemudian menyelamatkan barang barang yang lain yang sebenarnya tidak seberapa nilainya.
Raja Badung sendiri minta agar persoalan ganti rugi kapal Sri Kumala diajukan kepada Majelis Kerta (Badan Peradilan Kerajaan Badung) untuk mengambil keputusan.Pasukan Belanda tiba didaerah sanur
Residen Bali dan Lombok J Eschbach berdasarkan laporan yang dibuat oleh Schwartz, pada tanggal 18 Agustus 1904 melalui surat No 55/Rahasia melaporkan peristiwa tersebut kepada Gubernur Jenderal Hindia-Belanda J.B Van Heutz.
Dalam laporannya J Eschbach menyimpulkan bahwa memang benar terjadinya pencurian atas barang muatan kapal “Sri Kumala” oleh penduduk sekitar Sanur pada tanggal 27/28 Mei 1904. Sebagai saran J Eschbach mengusulkan kepada Gubernur Jenderal untuk membebankan kepada Raja Badung untuk membayar kerugian seluruhnya yang bernilai 3000 ringgit dengan alasan bahwa pemerintah Kerajaan Badung lalai untuk memberikan pertolongan dan pengamanan serta penjagaan kepada perahu “Sri Kumala” beserta muatannya secara sungguh-sungguh sehingga menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut.
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda J.B Van Heutz ingin membahas hal tersebut terlebih dahulu dengan Dewan Hindia sebelum mengambil tindakan, dan oleh karena itu pada tanggal 28 Oktober 1904 Dean Hindia membahas hal tersebut dalam sidangnya dan mengirimkan hasil sidang tersebut pada tanggal 4 Nopember 1904 kepada Gubernur Jenderal.
Pokok nasehat Dewan Hindia adalah ganti rugi yang diminta pemilik kapal Sri Kumala terlalu berlebihan dan nampak adanya tindakan tidak jujur dari pemilik kapal tersebut yang bertujuan untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari peristiwa ini dan Dewan juga menyerahkan agar Pemerintah Hindia-Belanda menyetujui saran Raja Badung agar Majelis Kerta di Badung diberi wewenang untuk memutuskan perkara ini sesuai hukum dan adat yang berlaku di Bali.Gubernur Jenderal Hindia-Belanda J.B Van Heutz tidak dapat menerima pendapat Dewan Hindia dan lebih condong menuruti saran J Eschbach yang mengusulkan untuk membebankan kepada Raja Badung untuk membayar kerugian senilai 3000 ringgit kepada pemilik perahu “Sri Kumala”. Sikap Gubernur Jenderal J.B Van Heutz dapat dimengerti karena dengan memaksa Raja Bandung membanyar ganti rugi senilai tersebut akan timbul perselisihan antara Kerajaan Badung dengan Pemerintah Hindia-Belanda. Hal tersebut tentunya akan membuka kesempatan bagi Pemerintah Hindia-Belanda untuk mengambil tindakan terhadap Raja Badung guna menerapkan asas “Pax Neerlandica” diseluruh wilayah Hindia-Belanda tanpa terkecuali.
Pasukan Belanda Memborbardir Puri Denpsar dan Puri Pemecutan
Kontolir Schwartz tentu sudah mengenal kepribadian raja-raja di Bali bahwa mereka mempunyai penghargaan yang sangat tinggi soal kehormatan dan harga diri dan bersedia membela kehormatan dan harga diri tersebut diatas segala galanya, apalagi mereka yakin bahwa mereka ada di pihak yang benar, oleh karena itu mustahil Raja Badung bersedia membayar ganti rugi atas kejadian tersebut.
Oleh karena itu pada tanggal 26 Nopember 1904 melalui surat No 538/Rahasia, Sekretaris Gubernemen Paulus atas nama Gubernur Jenderal J.B Van Heutz mengintruksikan kepada Residen Bali dan Lombok J Eschbach, bahwa ganti rugi kepada pemilik kapal Sri Kumala harus dibebankan kepada Raja Badung dan jika Raja Badung bersedia membayar ganti rugi tersebut maka masalah tersebut dianggap selesai.
Tetapi seadainya Raja Badung tidak bersedia membayar ganti rugi tersebut maka pemerintah Hindia-Belanda akan menempatkan kapal kapal perang Pemerintah Hindia-Belanda di perairan Badung untuk menghentikan sementara waktu segala pemasukan dan pengeluaran barang barang dari Kerajaan Badung sampai ganti rugi tersebut dibayar. Semua biaya dan pengeluaran blokade tersebut menjadi tanggung jawab Raja Badung.
Maka berdarsarkan instruksi dari Gubernur Jenderal tersebut, Residen Bali dan Lombok J Eschbach pada tanggal 19 Desember 1904 mengadakan kunjungan ke Badung untuk mengadakan pembicaraan dengan Raja Denpasar Gusti Gde Ngurah Denpasar tentang hasil keputusan Pemerintah Hindia-Belanda terhadap kerajaan Badung mengenai penyelesaian masalah kapal Sri Kemala.
Puri Denpasar
Seperti yang sudah diperkirakan oleh Pemeritah Hindia-Belanda, bahwa Raja Denpasar Gusti Gde Ngurah Denpasar dengan tegas menolak keputusan Pemeritah Hindia-Belanda untuk membayar ganti rugi kepada pemilik kapal Sri Kumala karena merasa tidak bersalah dan telah melakukan segalanya sesuai ketentuan yang dimuat didalam perjanjian pada tanggal 13 Juli 1849 seperti melakukan pejagaan terhadap kapal tersebut, selain itu penduduk desa Sanur sudah bersumpah bahwa mereka tidak pernah mencuri muatan perahu Sri Kemala.
Mengenai sanggahan Residen bahwa Raja Badung lalai tidak melaporkan kepada Pemerintah Belanda di Singaraja tentang karamnya kapal Sri Kemala, dijawab oleh Raja Badung hal yang sama seperti masa lampau bahwa pemilik kapallah yang seharusnya melaporkan hal tersebut kepada Pemeritah Belanda dan tidak menjadi tanggung jawab Pemerintah Kerajaan Badung.Masih menurut Raja Badung seandainya pemilik perahu Sri Kumala tersebut merasa dirugikan sebaiknya dia didatangkan ke Badung untuk mengadukan hal tersebut ke muka pengadilan Majelis Kerta yang berhak dan berwenang memberikan keputusan semacam ini. Dan Raja Badung berjanji akan tunduk terhadap apapun keputusan Majelis Kerta ini.
Karena tidak mendapat tanggapan dari Raja Denpasar, maka Residen Bali dan Lombok J Eschbach meninggalkan Badung pada tanggal 23 Desember 1904 dengan sebelumnya memberikanultimatum kepada Raja Badung bahwa selambat-klambatnya tanggal 5 Januari 1905 Raja Badung harus membayar ganti rugi sebesar 3000 ringgit di Singaraja untuk dibayarkan kepada pemilik kapal Sri Kumala dan jika pada hari yang disebutkan diatas ganti rugi belum dibayar maka saksi atas perairan Badung akan segera diberlakukan.
Pasukan Berkuda Belanda
Memasuki wilayah Denpasar
Hasil pembicaraan J Eschbach dengan Raja Badung segera dilaporkan kepada Gubernur Jenderal J.B Van Heutz pada tanggal 25 Desember 1904 dengan surat No 621/Rahasia dengan permintaan agar segera dikirim ke perairan Badung Kapal-kapal perang dan kapal pengangkut untuk melaksanakan blokade tersebut.
Gubernur Jenderal J.B Van Heutz nampaknya menyetujui saran J Eschbach tersebut dan menyatakan bahwa jika pada hari yang ditentukan tersebut Raja Badung tidak melaksanakan kewajibannya maka blokade terhadap perairan Badung harus segera dilaksanakan dengan tambahan penangkapan ikan oleh penduduk juga dilarang di perairan tersebut.
Memang kesempatan inilah yang ditunggu-tungu oleh Gubernur Jenderal J.B Van Heutz yang terus berupaya dengan segala cara untuk dapat menguasai wilayah Badung langsung dibawah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda yang disusul juga oleh kerajaan-kerajaan di 3 wilayah lainnya di Bali.
Pasukan Berkuda Belanda
Pada tanggal 5 Januari 1905 hari terakhir batas waktu yang diberikan Pemerintah Hindia-Belanda kepada Raja Badung untuk memenuhi kewajibannya sudah dapat diramalkan bahwa Raja Badung tidak akan membayar ganti rugi tersebut karena masalah ini bukan menyangkut soal uang tetapi menyangkut kehormatan dan soal keadilan.
Seorang politikus dan Anggota Parlemen Belanda H.H Van Kol yang mengadakan kunjungan ke wilayah Sanur pada Tahun 1911 yaitu 5 tahun setelah peristiwa puputan Badung menulis bahwa masalah Sri Kumala memang merupakan suatu sengketa yang dicari-cari oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk melakukan politik Imperialismenya di Bali. Dalam tulisannya tidak ada seorangpun orang Bali yang diwawancarai percaya telah terjadi perampasan uang senilai 3000 ringgit atas kapal tersebut. Selain itu penduduk desa Sanur yang berjumlah 2800 orang telah bersumpah tidak pernah merampas uang tersebut.
Dan selama 7 tahun setelah peristiwa perampasan tersebut belum pernah terdengar para pelaku perampasan uang yang hilang tersebut. Selain itu nahkota kapal Sri Kumala ketika ditanya tidak dapat menerangkan bagaimana bentuk peti uang yang katanya dirampas oleh penduduk tersebut.Lapangan Puputan Badung Dari Udara
Karena batas waktu yang diberikan telah lewat makapada tanggal 6 Januari 1905 di perairan Badung mencullah 2 buah kapal pengangkut Zwaluw dan Spits milik angkatan laut Belanda bersama konterolir Schwartz untuk melaksanakan blokade terhadap perairan Badung.Pada tanggal 14 Januari 1905 Residen J Eschbach mengadakan kunjungan dengan kapal Reiger ke perairan Badung untuk memeriksa blokade tersebut dan kesempatan tersebut juga dipergunakan untuk mendekati Raja Karangasem, Dewa Agung di Klungkung, Raja Bangli dan Raja Tabanan untuk minta bantuan dalam pelaksanaan blokade tersebut terhadap kerajaan Badung.
Tanggapan dari Raja-Raja di Bali terhadap permintaan Belanda tersebut bermacam macam diantaranya :
- Raja Karangasem Gusti Gde Jelantik dengan senang hati bersedia membantu pemerintah Hindia-Belanda dan menjelaskan bahwa sudah sewajarnya kerugian akibat karamnya kapal Sri Kemala dibebankan kepada Raja Badung.
- Dewa Agung di Klungkung kurang menanggapi permintaan Belanda namun bersedia mengirimkan utusannya ke Kerajaan Badung untuk mengupayakan penyelesaian secara damai hal tersebut dengan pihak Belanda.
- Raja Bangli menyatakan bersedia membantu pemerintah Hindia-Belanda dalam pertikaiannya degan Kerajaan Badung.
- Kerajaan Gianyar menyatakan bersedia membantu pemerintah Hindia-Belanda namun karena wilayahnya berbatasan langsung dengan Kerajaan Badung akan sangat sulit menutuf secara efektif segala hubungan dagang antara kedua kerajaan tersebut.
- Raja Tabanan yang dalam sejarahnya memiliki keterikatan darah dengan Kerajaan Badung menolak dengan keras menutup perbatasan kedua kerajaan karena hal tersebut akan merugikan kepentingan rakyat kecil yang sehari harinya mempunyai perdagangan dengan rakyat Badung.
Dengan adanya sikap dari Raja raja tersebut yang tidak semuanya mau menutup perbatasannya dengan Kerajaan Badung maka bolokade Belanda menjadi tidak efektif sama sekali, malahan perdagangan melalui perbatasan Tabanan dan Badung menjadi semakin ramai karena perdagangan di wilayah Bali lainnya ke kerajaan Badung semuanya melalui perbatasan Badung dan Tabanan.
Selain itu wilayah Badung suatu daerah yang subur dengan sawah-sawah yang sangat luas dan mampu memberikan makanan yang cukup bagi rakyatnya sehingga dengan adanya blokade tersebut tidak akan menimbulkan bahaya kelaparan bagi Penduduk di wilayah Badung. Satu satunya kerugian yang diderita oleh Kerajaan Badung akibat blokade tersebut adalah menurunnya penghasilan kerajaan di bidang cukai barang masuk dan keluar.
Pasukan Belanda
Melakukan Pengepungan
Pada tanggal 10 Pebruati 1905 Raja Denpasar mengirim surat kepada Residen Bali dan Lombok J Eschbach yang menandaskan bahwa Kerajaan Badung tidak bersedia membayar ganti rugikarena merasa tidak bersalah dalam kasus tersebut dan minta agar blokade itu segera dihentikan dan semua kapal Belanda agar ditarik dari perairan Badung.
Penyelesaian masalah ini agar diberikan kepada Majelis Kerta dan demi menjamin keputusan yang adil maka Raja Badung bersedia menerima pejabat peradilan Kerta di Singaraja yang bertindak sebagai pembela pemilik kapal Sri Kemala. Raja Badung juga minta pihak Belanda membayar kerugian yang ditaksir sebesar 1500 ringgit akibat blokade yang dilakukan Belanda terhadap Perairan Badung.
Pasukan Belanda - Menembaki Pejuang
Dengan perkembangan tersebut maka hubungan antara Kerajaan Badung dengan Pemerintah Hindia-Belanda menjadi semakin tegang dan pemecahan masalah Sri kemala mencapai tahap kedua yang lebih suram lagi.
Sudah kurang lebih 2 bulan lamanya blokade Belanda terhadap perairan Badung namun sejauh ini tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan Pemerintah Hindia-Belanda, makapemuka-pemuka rakyat Badung pernah meyampaikan permohonan kepada Raja Badung bahwa mereka sanggup mengumpulkan uang sebanyak 3000 ringgit sebagai ganti rugi kepada pemilik kapal Sri Kemala demi perdamaian di kerajaan Badung tetap terpelihara,namun hal tersebut secara tegas ditolak oleh Raja Badung karena yang menjadi persolan utama bukan karena masalah uang melaikan ada hal yang lebih penting dan prinsipil yaitu kebenaran , keadilan dan tegaknya hukum yang berlaku di Badung.
Demikian pula pedagang Cina dan Bugis yang bermukim di Kuta dan Pulau Serangan menghadap Raja Badung dan menyampaikan permohonan yang sama namun hal tersebut juga secara tegas ditolak oleh Raja Badung dan menandaskan apabila ada seorang diantara mereka berani mngambil prakarsa bertindak sendiri mendekati pihak Belanda untuk membayar ganti rugi tersebut maka kepada mereka akan diambil tindakan hukuman yang setimpal.Tawaran pedagang Cina dan Bugis tersebut dapat diterima karena dengan adanya blokade tersebut mereka mengalami kerugian yang sangat besar.
Residen J Eschbach dalam keangkuhannya sebagai pejabat Kolonial Belanda jutru tidak berusaha mencari lantar belakang alasan Raja Badung menolak membayar ganti rugi tersebut dan menyelami jiwa seorang Raja Bali yang menyangkut soal kehormatan, kebenaran, martabat, harga diri dan perasaan keadilan serta tegaknya hukum di wilayahnya yang mereka bela diatas segala-galanya.
Perang Puputan dalam Lukisan
Karena dipengaruhi oleh perkembangan yang tidak membawa harapan sama sekali seteah 2 bulan dilaksanakan blockade atas perairan Badung maka Residen J Eschbach padatanggal 13 Maret 1905 melalui surat No. 31/Rahasia mengajukan saran kepada Gubernur Jenderal J.B Van Heutz untuk mengkhahiri keadaan yang tidak menentu dan berlarut larut ini dengan suatu ekspedisi militer ke Badung untuk menghajar raja yang membangkang dan sekaligus menempatkan Kerajaan Badung langsung dibawah kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda.Secara Politis Residen J Eschbach berpendapat jika hal ii dibiarkan berlarut larut akan merugikan kedudukan Pemerintah Hindia-Belanda dimata raja-raja Bali lainnya.
Residen J Eschbach yakin akan aksi militer ini terhadap Kerajaan Badung berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh dari kalangan sebagai berikut :
Orang-orang Bugis yang biasanya dipergunakan di Badung sebagai pasukan pelopor dalam laskar kerajaan akan menyerah kepada pasukan Belanda jika terjadi aksi militer
Punggawa Sanur, Kapal dan Kuta telah menyatakan kepada kontrolir Schwartz, bahwa setibanya pasukan Belanda di Badung mereka akan berontak terhadap raja dan menyerahkan diri kepada pasukan belanda.
Menurut keterangan punggawa Marga dan Belayu, Kerajaan Tabanan tidak akan mengirimkan pasukan ke Badung untuk membantu jika diserang oleh Belanda
Dewa Agung di Klungkung dan Raja Bangli tidak akan memihak dalam pertikaian antara Raja Badung dengan Pihak Belanda.
Berdasarkan informasi tersebut Residen J Eschbach berpendapat bahwa kekuatan pasukan Badung akan berjumlah 20.000 pasukan dengan persenjataan kurang lebih 1000 senjata api dan beberapa buah meriam yang sudah tua. Jika pemerintah dapat menyediakan 2 batalion pasukan infanteri dengan tambahan pasukan Zeni dan alteleri secukupnya serta menempatkan 250 pasukan cadangan di Singaraja dan di daerah Jembrana sebanyak 75 orang maka aksi militer dikerajaan Badung akan berjalan dengan mudah dengan hasil yang memuaskan.
Dia berpendapat dengan dikuasainya Kerajaan Badung dan menempatkannya dibawah kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda segala perkembangan di Pulau Bali akan lebih mudah diawasi dan segala dana yang dikeluarkan untuk aksi militer tersebut akan dapat ditutup dari penghasilan daerah itu sendiri. Dan jika pemerintah dapat meyetujui sarannya maka untuk melaksanakan aksi militer tersebut sebaiknya segera dilakukan mengingat sesudah bulan Mei ombak di Pantai Sanur akan mulai besar sehingga akan menyulitkan pendaratan pasukan dan perlengkapannya.
Residen J Eschbach juga menyarankan agar pendaratan pasukan dilakukan di daerah Sanur dan sekaligus dijadikan markas besar karena jarak Sanur dengan Ibukota Denpasar tidak begitu jauh dan jalannan juga lumayan baik. Akhirnya Residen J Eschbach mengatakan bahwa jika aksi militer tidak dapat dilaksanakan maka tidak ada jalan lain kecuali meneruskan blokade dengan segala konsekwensi yang dapat merugikan Pemerintah Hindia-Belanda.
Berdasarkan saran Residen J Eschbach tersebut, Gubernur Jenderal J.B Van Heutz bertindak hati hati dalam mengambil keputusan walaupun dalam hati kecilnya sangat menyetujui saran tersebut dengan mengadakan persiapan yang matang. Pertama-tama harus disediakan pasukan yang cukup untuk melaksanakan tugas tersebut karena dalam waktu yang bersamaan Angkatan
darat Pemerintah Hindia-Belanda sedang direpotkan oleh aksi militer di daerah Bone Sulawesi selatan. Oleh karena operasi militer di daerah Bone tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum memikirkan mengadakan ekspedisi militer lainnya di wilayah Badung.
Peta Lokasi Puri Denpasar & Puri Pemecutan
Selain itu harus diadakan persipan-persiapan politik secara mantap oleh karena itu Gubernur Jenderal J.B Van Heutz menyampaikan surat Residen J Eschbach tersebut kepada Dewan Hindia dengan permintaan agar Dewan memberi pendapatnya mengenai masalah tersebut. Dalam rapat tanggal 31 Maret 1905Dewan Hindia tidak dapat menyetujui pendapat Residen J Eschbach bahwa tidak bersedianya Raja Badung membayar ganti rugi dalam masalah Sri Kemala hanya didasarkan atas sikap keras kepala namun mungkin ada hal hal lain yang menjadi dasar penolakan tersebut.
Dewan Hindia membuktikan pendapatnya dengan suatu peristiwa yang belum lama terjadi yaitu pada tanggal 22 Desember 1904 yaitu Raja Badung masih bersedia menandatangani perjanjian penghapusan “mesatiye” (pengorbanan diri) dalam upacara ngaben sebagai tanda kesetian seorang istri kepada suaminya dalam kerajaannya, yang merupakan suatu kenyataan bahwa Raja Badung memang mempunyai suatu kemauan baik untuk bekerjasama dengan Pemerintah Hindia-Belanda.
Berdasarkan atas pertimbangan tersebut maka Dewan Hindia menyarakan kepada Gubernur Jenderal J.B Van Heutz hal sebagai berikut :
Keputusan itu baru diambil dengan pasti setelah ada laporan dari mata-mata Belanda bahwa I Gusti Gde Ngurah Kesiman yang ikut menyerang benteng Belanda di Sanur telah terbunuh. Pada Tanggal 18 September 1906, sejak jam 08.00 sampai dengan jam 18.00, meriam penembak yang teletak disebelah kanan benteng ditembak kearah kota. Sebanyak 216 tembakan meriam diarahkan ke Puri Pemecutan dan Denpasar, beberapa mengenai Puri dan lebih banyak jatuh diluarnya. Sebanyak 1.500 orang laskar yang tidak gentar menghadapi gertakan Belanda melalui tembakan meriam, kemudian memperkuat benteng pertahanan di tepi timur Kesiman, di dekat kebun kelapa antara Tepi sungai Ayung dan Desa Tangtu.
Pada tanggal 19 September, jam 07.45, Pasukan Belanda sudah siap menyerang Kesiman. Gerakan Pasukan Belanda dimulai dari Pantai menuju keutara. Sementara itu laskar Kerajaan Badung yang mempertahankan Desa Tangtu menyerang Rost Van Toningen pada batalyon 20 sehingga seorang prajurit Belanda luka berat. Serangan laskar Badung dapat dihentikan oleh 2 peleton batalyon 11 yang mengejar. Mereka melanjutkan serangannya untuk menduduki Puri Kesiman dengan kekuatan 3 batalyon yaitu batalyon 11 mengambil posisi sayap kanan, batalyon 20 ditengah dan batalyon 18 diposisi sayap kiri disebelah timur sungai Ayung.
Pada jam 10.45 kedudukan laskar kerajaan Badung sudah mendekati jarak 350 meter dari pasukan Belanda yang paling depan, sehingga asap mesiu yang mengepul sekitar kedudukan laskar Badung menjadi sasaran tembak pasukan Belanda. Laskar Badung maju dengan magsud melawan dengan sangat berani dan heroic, tetapi tembakan gencar mengenai mereka dan roboh. Kelemahan pada pihak laskar Badung terletak pada teknik persenjataan.
Meskipun menggunakan meriam kecil (lila) dengan tembakan yang sangat lambat namun ternyata senjata ini menjadi pembangkit semangat untuk berperang. Semangat heroic yang rela berkorban, berperang sampai titik darah penghabisan dan pantang menyerah adalah kewajiban leluhur setiap laskar Badung di Kepisah maka Puri Kesiman dapat diduduki oleh tiga batalyon pasukan Belanda pada jam 15.30.JATUHNYA PURI DENPASAR
Jatuhnya pertahanan di Puri Kesiman mempermudah pasukan Belanda kesebelah barat untuk menuduki Puri Denpasar dan Puri Pemecutan. Pasukan belanda bergerak kearah Barat meninggalgan Puri Kesiman dan menuju tepi Barat Desa Sumerta pada tanggal 20 September 1906, jam 07.00 bersamaan dengan gerakan pasukan, tembakan meriam dari benteng belanda di Sanur diarahkan ke Puri Denpasar dan Pemecutan, sebanyak 60 peluru meledak di dalam dan sekitar puri sehingga menimbulkan kerusakan.
Laskar Badung ditepi barat Desa Sumerta melakukan perlawanan untuk mempertahankan tepi timur Denpasar. Pada jam 08.00 pasukan Belanda dibagi tiga bagian. Batalyon 18 berbaris kesebelah kiri menuju Desa Kayumas, batalyon 11 kesebelah kanan jalan (utara) menuju batas Timur Denpasar. Pada waktu batalyon 18 berangkat keselatan, sejumlah laskar Badung yang mempertahankan Kayumas menembak dengan meriam (lila) tetapi dibalas pasukan Belanda.
Puri Denpasar Tinggal Puing
Setelah Perang Puputan
Pada jam 09.00 Raja I Gusti Ngurah Denpasar telah mendengar bahwa pasukan Belanda telah masuk ke kota Denpasar. Di Puri Denpasar telah berkumpul keluarga dan pengikut setia Raja, kira-kira 250 orang, Raja memerintahkan untuk membakar Puri Denpasar.
Pada Jam 10.30, batalyon 11 pasukan Belanda telah menduduki perempatan. Pada jalan Denpasar menuju Tangguntiti. Pada jam 11.00 Raja dan Rombongannya keluar puri. Laki-laki dan Wanita semuanya membawa senjata yang terdiri atas keris dan tombak. Anak-anak juga demikian dan bayi digendong. Rombongan ini bergerak kesebelah utara melalui pintu gerbang Puri dan keluar jalan besar, sampai di persimpangan jalan Jero Belaluan.
Rombongan meneruskan perjalanan sampai jarak sekitar 300 meter dari batalyon 11. Rombongan diperintahkan untuk berhenti melalui penterjemah. Meskipun sudah berulang kali diperingatkan, tetapi rombongan maju terus hingga semakin dekat, sampai mjarak 100 meter, 80 sampai 70 langkah dari kedudukan pasukan Belanda, pada jarak terakhir, raja dan rakyat Badung berlari kencang dengan tombak dan keris terhunus menerjang musuh. Saat itulah tembakan salvo dilepaskan sehingga beberapa orang jatuh tersungkur termasuk raja I Gusti Ngurah Gde Denpasar, Raja Badung Gugur.
Pengikut yang masih hidup melanjutkan penyerbuannya dan tembakan gencar pasukan Belanda diteruskan. Pada waktu itulah terjadi peristiwa yang mengerikan bagi orang Belanda. Dengan Cara melawan Pantang menyerah, berperang sampai titik darah penghabiskan, raja dan rakyat Badung rela dan iklas membela kebenaran yang luhur. Tewas membela kebenaran adalah sorga bagi mereka dan keyakinan ini tetap teguh mereka pegang sampai saat terakhir, sesuai dengan ajaran agam mereka, Hindu.
Rombongan kedua dari Puri, kemudian muncul dijalan besar, dipimpim oleh saudara tiri raja yang masih berumur 12 tahun dengan tombak yang sangat panjang di tangan dan hampir keberatan, pasukan Belanda dikepung. Saat itu, komandan pasukan dan juru bahasapun memperingatkan agar berhenti, tetapi rombongan ini tidak menghiraukan dan menyerang dengan ganas.
Jenasah Raja Denpasar
setelah Perang Puputan
Satu persatu mereka gugur kena peluru. Tumpukan mayat sebelumnya semakin bertambah. Sementara itu, di dekat perempatan jalan dari Denpasar menuju Tangguntiti dan Kesiman masih terjadi serangan laskar kerajaan Badung. Laskar Badung yang masih menduduki Jero Taensiat melakukan serangan sporadis terhadap kedudukan pasukan Belanda.
Oleh karena peperangan yang tidak seimbang antara pasukan militer propesional lengkap dengan persnjatan modern pada waktu itu terhadap laskar konvensional yang hanya memiliki jiwa dan semangat pantang menyerah dalam mempertahankan kedaulatan negeri dengan segala patriotisme dan heroismenya, maka setiap serangan pelawanan laskar Badung dapat dijinakkan. Pasukan Belanda bergerak keselatan menuju dan menduduki Puri Denpasar pada jam 13.00 dari depan Puru Denpasar, pasukan Belanda melanjutkan penyerangannya ke Puri Pemecutan pada jam 15.00. Raja Badung dari Puri Pemecutan, I Gusti Gde Ngurah Pemecutan, memerintahkan untuk membakar Puri sebelum melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.
Pada jam 15.00 batalyon sudah meninggalkan halaman depan Puri Denpasar dan sampai di Puri Suci tidak terjadi perlawanan laskar kerajaan Badung, sebab konsentrasi pertahanan Kerajaan Badung berada disebelah kiri depan Puri Pemecutan. Tembakan gencar yang dilepaskan pasukan belanda bertujuan membebaskan jalan didepannya dari serangan mendadak laskar Badung karena sejumlah laskar semakin mendekati kedudukan pasukan Belanda.JATUHNYA PURI AGUNG PEMECUTAN
Setelah Raja Pemecutan mendengar bahwa Kesiman dan Denpasar kalah diduduki, serta pasukan Belanda sudah dekat di sebelah timur Puri, maka dia pun menyerukan untuk melakukan puputan. Semua yang mendengar seruan itu bangkit serentak, dengan kemauan sendiri, hendak ikut ngiring ( turut serta ) berdasarkan kesucian hati, berpuputan bersama.
Puri Pemecutan - sisa puing puing
Seluruh keluarga Puri keluar ke medan pertempuran, termasuk para wanita dan anak-anak, serta bayi-bayi juga digendong oleh para ibu, pengasuhnya, sedangkan Raja Pemecutan yang sudah tua dan sakit-sakitan, ditandu saat memimpin peperangan.
Laskar Kerajaan Badung yang bertahan diseberang sungai melepaskan tembakan kearah batalyon 18 setelah jarak tembak 700 meter dan tepat mengenai sasaran sehingga 2 orang dari pasukan Belanda menjadi korban. Dibalas dengan tembakan artileri meriam kaliber 3,7 mengakibatkan Laskar Badung berguguran.
Seluruhan Laskar Pemecutan dipimpin oleh empat putra perkasa dari puri kanginan Pemecutan bersama Raja I Gusti Ngurah Made dan I Gusti Ngurah Putu berjuang bagaikan banteng kedaton, menyerang ke sana kemari, menantang musuh, menyeberangi kali Badung, menuju daerah Suci sebelah timur Pemecutan. Beliau juga sempat memerintahkan I Meruh Dari Desa Campuan Peguyangan dan I Pateh dari Banjar Busungyeh, untuk membakar ( bumi hangus ) Puri, apabila beliau-beliau Raja sudah meninggal, sehingga tidak dapat diduduki dan ditempati oleh serdadu Belanda.
Diperintahkan juga kepada rakyatnya yang lain, agar membunuh ( ngeludin ) mereka yang mengerang kesakitan, jika terkena peluru Belanda, agar dia dapat meninggal dengan tenang. Demikianlah Ngurah Made dengan membabi buta, menyerang pasukan Belanda, hanya dengan sebilah keris, dengan keberanian luar biasa dan akhirnya gugur oleh berondongan senjata api musuh.
Pasukan Belanda bergerak maju mendekati Puri Pemecutan dan pada waktu itu serangan laskar Badung dilakukan. Raja I Gusti Ngurah Pemecutan yang di usung dengan tandu berkumpul dengan para punggawa, istri, dan keluarganya di Puri Pemecutan.Semuanya bergerak menyongsong kehadiran pasukan Belanda. Kelompok laskar di sana-sini bermunculan menyerang dengan tombak dan senapan dari jarak yang agak jauh. Rombongan raja bergerak secara perlahan mendekati pasukan Belanda. Setelah posisi mereka sangat dekat dengan posisi pasukan Belanda, raja pasukannya bergerak semakin cepat dan langsung menerjang pasukan Belanda.
Diceritakan pula Ngurah Made yang bagaikan singa kelaparan, berlari dan menerkam serta menghujamkan keris ke dada musuh, bergulat dan di keroyok serta ditembaki oleh tentara Belanda. Tak terhitung rakyat yang telah gugur, demikian pula di pihak Belanda.
I Gusti Ngurah Ketut Bima, menghadang dan menyongsong musuh, dengan menyisir tembok rumah-rumah penduduk, di sebelah utara jalan, ke arah timur, menyeberangi sungai Badung dan kemudian siap di atas tembok rumah I Gambang ( di sebelah utara Pura Suci ), menanti pasukan berkuda dari perwira-perwira Belanda yang melintas.
Begitu mendekat, dengan sigap Ngurah Bima meloncati tembok, melompati kuda, sambil langsung mencekik dan menikam musuh di atas kuda, namun beliau tertembak oleh pasukan musuh yang lain, sehingga gugur bersama Letnan Pieters yang dibunuhnya.Beberapa perwira Belanda juga sempat di bunuh pada waktu itu.
Sementara itu, Raja Badung I Gusti Ngurah Agung Pemecutan, meskipun sudah tua dan sakit, dengan semangat penuh memberi komanda kepada rakyat pengiringnya. Dengan sorak sorai, jeritan histeris, mereka maju tak gentar, menantang musuh dengan hanya bersenjata keris dan tombak, dengan semangat dan keberanian luar biasa.
Kaum wanita, tua dan muda, dewasa maupun anak-anak serta bayi-bayipun turut digendong oleh para ibu, ataupun pengasuhnya, turut ke medan peperangan mengikuti Raja berpuputan. Seluruh kerabat Puri, para istri-istri Raja anak-anak maupun bayi dibawa serta. Demikian mereka berduyun-duyun sambil bersorak menyongsong musuh, bagaikan lebah merubung nyala lampu, kemudian terbakar satu-persatu.
Demikianlah mereka gugur berserakan ditembus peluru Belanda. Rajapun tidak dapat menghindar, tertembak jatuh, setelah pengusung tandunya meninggal terkena peluru. Raja dengan tenaga yang tersisa, sambil tertatih-tatih masih sempat mengadakan perlawanan dan akhirnya terjatuh dan wafat.
Tumpukan mayat
Pengiring Raja
Pada pertarungan sengit itulah raja dan pasukannya gugur satu per satu. Akhirnya pada pukul 18.00 perlawanan laskar Badung di Pemecutan yang merupakan benteng terakhir terhenti. Belanda berhasil menduduki Puri Pemecutan. Setelah wafatnya Raja, para pengiringnya semakin berani menantang musuh, agar dibunuh oleh Belanda, atau mereka saling menikam diri sendiri, atau orang-orang di dekatnya, sanak saudara , anak-anak atau istri, agar tidak ada seorangpun yang tertinggal dijadikan tahanan budak Belanda, mereka semuanya ikut 'ngiring' (ikut) berpuputan.Jeritan mereka yang kesakitan kena peluru, minta tolong supaya dibunuh, sangat memilukan hati Anak Agung Ayu Oka juga turut serta ke medan pertempuran, mengikuti ayahanda, dan seluruhnya keluarga Puri beserta kekasihnya I Gusti Ngurah Ketut Bima yang memimpin Laskar Pemecutan.
Demikian sengit dan hebatnya pertempuran di daerah Suci dan Pemecutan, suara meriam tiada hentinya. Puri terbakar peluru, dengan api yang berkobar-kobar dan asap memenuhi angkasa. Suara kentongan “ Kerik Tingkih “(kentongan puri masih ada di jalan Thamrin Denpasar ) bulus bertalu-talu,tiada henti-hentinya disertai suara dan gonggongan anjing yang meraung-raung sepanjang hari, benar-benar sangat mengerikan .
Bale Kulkul satu satunya Bangunan yang tersisa di Puri Pemecutan
Dalam kondisi seperti ini, Anak Angung Ayu Oka menyadari, bahwa Ayahandanya telah gugur, kekasih beliau Raja Denpasar sudah pulang mendahului, kini Ngurah Bima pun sebagai Pahlawan perang. Semua kerabat puri sudah meninggal, tidak adalagi yang ditunggu, kemudian dengan perasaan pilu dan sedih, menagis, pasrah lascarya, menyusul beliau-beliau itu dengan 'mesatnya' bunuh diri dengan sebilah keris, sebagai bakti kepada ayahanda,hormat kepada Raja, setia kepada kedua kekasih yang dicinta, setia kepada Negara dan rakyat, pantang menyerah kepada Belanda. Putri Puri pemecutan gugur di atas tumpukan jenazah ayahanda dan rakyat lainya.
Perang Puputan adalah istilah Rakyat Bali yang berarti perang sampai titik darah penghabisan, alias siap mati bertempur demi harga diri dan kehormatan dari pada hidup dengan harga diri yang terinjang injak.Perang puputan bukan bertujuan untuk menang, karena tujuannya adalah untuk menyambut kematian dihadapan musuh, sampai habis tak bersisa. Perang ini biasanya diikuti oleh semua rakyat kerajaan tanpa terkecuali, kecil besar, bayi dewasa, dan semua kasta ikut serta.
Bagi masyarakat Bali, puputan dilakukan dengan prinsip sebagai berikut:
- Nyawa seorang kesatria berada diujung senjata kematian di medan pertempuran merupakan kehormatan.
- Dalam mempertahankan kehormatan bangsa dan negara maupun keluarga tidak dikenal istilah menyerah kepada musuh.
- Menurut ajaran Hindu, orang yang mati dalam peperangan, rohnya akan masuk surga.